Rabu, 03 April 2013

Pembentukan Karakter Generasi Muda Melalui Program IAYP (International Award for Young People)


Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamsi 45
Yogyakarta


Akhir-akhir ini kita semua tentu diresahkan oleh berita-berita yang menyesakkan dada seperti tawuran remaja dan mahasiswa, penipuan, pencurian, pembunuhan, dan sebagainya. Mau jadi apa generasi muda kita? Generasi muda sudah mengawali nasibnya dengan perilaku buruk. Apakah generasi muda yang tidak tersangkut dengan berita-berita negatif itu akan terjamin masa depannya? Belum tentu juga. Hal ini karena para orangtua di Indonesia belum memperhatikan persiapan pembentukan aspirasi karir untuk anak-anaknya semenjak usia dini. Persiapan yang lazim dilakukan oleh orangtua Indonesia adalah memacu prestasi akademiknya dengan mengikutkan anak-anaknya dalam suatu kursus. Kursus yang lazim diikuti yaitu bahasa Inggris, musik, dan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Kursus-kursus itu berlangsung sepulang sekolah bahkan sampai malam hari. Anak menjadi tidak sempat mengembangkan potensi diri, dan karakternya.

Ketika generasi muda ini sudah lulus sekolahnya, kemudian mencari pekerjaan atau melanjutkan studi lanjut, maka pada umumnya mereka merasa kesulitan. Banyak perusahaan menginginkan sarjana yang karakternya baik, namun para pencari kerja kesulitan untuk membuktikannya. Organisasi pemberi beasiswa terutama di luar negri menginginkan calon mahasiswa yang tangguh dan disiplin karakternya, namun calon mahasiswa itu kesulitan untuk membuktikannya. Bekal mereka hanya secarik sertifikat bahasa Inggris saja. Sertifikat bahasa Inggris itu juga belum menjamin pemiliknya mempunyai kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni.

Kesulitan-kesulitan para generasi muda Indonesia dalam membuktikan ketangguhan karakternya terjadi karena mereka pada umumnya belum mempunyai kebiasaan-kebiasaan untuk menjadi SDM unggul. Mereka tidak terbiasa mengisi waktu untuk kegiatan yang produktif secara teratur dan terukur. Mereka juga mempunyai pengaturan diri (regulasi diri) yang rendah. Artinya orang-orang muda itu masih harus diingatkan terus-menerus untuk melakukan sesuatu yang baik. Seolah-olah orang muda itu tidak mempunyai kemauan yang kuat untuk melakukan sesuatu yang baik demi persiapan masa depannya. Agar orang-orang muda itu tergerak untuk merancang masa depannya, maka mereka harus mengubah karakternya menjadi karakter unggul. Bagaimana cara mengubah karakter?

Secara psikologis, perubahan karakter membutuhkan waktu yang lama, minimal 6 bulan (untuk tingkat perunggu). Dalam jangka waktu 6 bulan tersebut, individu didorong untuk membentuk kebiasaan-kebiasaan baik sehingga karakternya menjadi kuat. Proses pembentukan karakter itu tentu saja harus diiringi dengan proses monitoring dan umpan balik dari orangtua / wali. Agar proses monitoring lancar, maka para orangtua / wali harus mampu menjadi suri tauladan perilaku bagi anak-anaknya.

Perubahan dan penguatan karakter secara praktis dapat dilakukan berdsarkan sistem pendidikan di Inggris. Mengapa kita harus bercermin pada sistem pendidikan di Inggris? Sistem pendidikan di Inggris secara konsisten telah menerapkan program IAYP (International Award for Young People), dengan tokohnya HRH The Duke of Edinburg (Pangeran Philip, suami dari Ratu Elizabeth II), dan Dr. Kurt Hahn. Program ini berdiri pada tahun 1956 dan kini telah tersebar paling sedikit di 162 negara. Program IAYP ini hanya untuk anak-anak muda usia 14-25 tahun saja. Orang-orang muda di seluruh dunia yang pernah mengikuti program IAYP, mempunyai karakter kuat. Begitu kuatnya karakter itu merasuk para generasi muda, sehingga hal itu bahkan tercermin pada raut mukanya. Mereka menjadi SDM yang jauh lebih unggul daripada orang-orang muda yang tidak mengikuti program IAYP. Berikut adalah penjelasan secara lebih rinci tentang program IAYP (McMenamin, 2011; Shinta, 2013). 

Kamis, 07 Maret 2013

FENOMENA TOM AND JERRY : Renungan Seorang Leader Terhadap Perilaku Peserta IAYP



Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta


Add caption
Mental kuat dalam menghadapi tangisan peserta IAYP (International Award for Young People) yang terputus kegiatannya dan harus mengulang lagi semenjak awal, adalah tantangan bagi para leader. Tantangan selanjutnya adalah kesediaan untuk meluangkan waktu mendampingi peserta dalam menjalankan seluruh rangkaian kegiatan IAYP. Definisi operasional meluangkan waktu bisa ditujukan bagi para peserta, maupun bagi para leader sendiri. Bagi peserta, meluangkan waktu berarti leader harus memotivasi peserta untuk terus melakukan kegiatan IAYP secara tekun dan jangan sampai terputus. Bagi para leader sendiri, meluangkan waktu berarti ia harus berani menjadi suri tauladan perilaku atau menjadi model. Jadi para leader sebenarnya juga harus mengikuti seluruh rangkaian kegiatan IAYP meskipun hal itu dilakukan secara informal.

Berbagai problem muncul dalam penyelesaian kegiatan IAYP. Problem itu bermuara dari kurangnya komitmen peserta dalam mematuhi jadwal yang dibuatnya sendiri, dan juga bisa muncul dari para leader. Problem yang muncul dari para leader adalah berkaitan dengan rasa frustrasi menghadapi peserta yang tidak patuh terhadap jadwalnya sendiri. Dampaknya adalah para leader merasa bahwa peserta menyepelekan jerih payah leader. Ketika hal itu terjadi maka para leader harus sering bertanya pada diri sendiri, “Untuk apa saya terlibat dalam kegiatan IAYP? Bukankah lebih menguntungkan secara nyata (finansial) bila saya terlibat dengan kegiatan pekerjaan utama daripada kegiatan IAYP yang sifatnya suka rela ini? Apabila peserta IAYP terputus kegiatannya sehingga mungkin karakternya terbentuk secara kurang ideal, apa peduli saya? Kalau peserta memang menginginkan hidupnya gagal serta tidak mau diatur hidupnya, bukankah itu salah mereka sendiri? Kalau peserta mau bekerjasama dan berkomunikasi dengan saya, maka saya bersedia membimbing mereka. Kalau mereka rendah komitmennya terhadap IAYP, mungkin lebih baik saya mengundurkan diri saja dari posisi sebagai leader. Bijaksanakah keputusan saya? Apakah saya juga akan mengundurkan diri dari posisi sebagai leader meskipun peserta yang saya hadapi adalah anak saya sendiri atau asisten saya yang terkasih (orang terdekat)?”.

KEGIATAN MENULIS DAN BAHASA INGGRIS DI UP45



Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Univesitas Proklamasi 45
Yogyakarta


Kegiatan Menulis di UP 45 (Foto : Elisa)
Kemampuan menuangkan ide dalam bentuk tulisan dan keberanian mengemukakan pendapat dalam bahasa asing terutama bahasa Inggris adalah modal utama bagi mahasiswa untuk sukses dalam dunia kerja. Kemampuan menulis penting karena mahasiswa sering kali mempunyai ide berlian, namun ide itu sayangnya hanya berada di dalam benak saja. Orang lain tidak dapat mengakses ide berlian tersebut. Konsekuensinya, ide tidak akan berkembang atau pihak lain tidak dapat mengimplementasikannya. Begitu juga dengan kemampuan berbahasa Inggris, hal itu penting untuk ‘menjual’ ide-ide berlian pada bangsa lain sehingga ide tersebut dapat diimplementasikan ke seluruh penjuru. Apalagi, bila dua kemampuan tersebut digabung sehingga seseorang mampu menulis ide dalam bahasa Inggris dan mengkomunikasikan juga dalam bahasa Inggris maka dunia seolah ada di genggaman tangannya.

Persoalan yang relevan dengan kemampuan menulis dan kelancaran berbicara dalam bahasa Inggris yaitu adanya perasaan tidak mampu. Ironisnya, mahasiswa jaman sekarang justru pandai menulis SMS, curhat di twitter, facebook, dan media elektronik lainnya. Bahkan kalimat-kalimat yang ditulisnya sering menggunakan istilah-istilah bahasa Inggris. Ketika para mahasiswa diminta untuk menulis essai atau meringkas suatu artikel yang tertulis dalam bahasa Inggris sebagai salah satu tugas mata kuliah, maka hasilnya adalah mencengangkan. Mengapa? Pada umumnya tulisan essai mahasiswa adalah ‘copas’ atau copy paste yaitu menjiplak persis tulisan pada internet tanpa menuliskan sumbernya. Selanjutnya tentang tugas meringkas artikel bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, hasilnya justru menggelikan. Sebagai contoh, Mr. Smith White akan diterjemahkan sebagai Bapak Smith Putih.

Mengapa mahasiswa tidak mampu menulis essai dengan baik? Mengapa kemampuan mahasiswa Indonesia dalam bahasa Inggris buruk? Sudah banyak artikel dan penelitian yang membahas tentang persoalan tersebut. Tulisan ini lebih mengutamakan tentang strategi untuk mengatasi kurang mampunya mahasiswa dalam menulis dan bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, terutama di lingkungan Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Harapannya, mahasiswa UP45 dapat go international.